Thought's

Things about the big country and nation — Indonesia.

UPAH MINIMUM DAN KESEJAHTERAAN BURUH

Posted by Buyung Syafei (deRoe) pada 31 Oktober 2013

antarafotoSumber : Antarafoto.com

1. Pendahuluan

Akhir-akhir ini terdapat suatu fenomena, di mana kaum buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum, bahkan ada rencana untuk melakukan pemogokan massal di seluruh Indonesia. Fenomena ini terjadi karena biaya hidup (cost of living) kaum buruh dari hari ke hari terus meningkat yang ditunjukkan oleh peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK).
Namun, di lain pihak para pengusaha secara umum sedang mengalami kesukaran dalam kondisi ekonomi yang belum pulih semenjak krisis ekonomi tahun1997. Dalam kondisi ini kemampuan perusahaan untuk membayar (ability to pay) dengan kenaikan upah minimum terbatas. Jadi ada konflik objektif antara kenaikan biaya hidup kaum buruh dengan kemampuan perusahaan untuk membayar.

2. Hasil Penelitian

Menurut hasil penelitian Badan Litbang Depnakertrans yang dilaksanakan selama tiga tahun (1979-1982) ada kendala mendasar dalam penetapan upah minimum. Penelitian menggunakan data BPS dan pengecekan hasilnya ke lapangan dengan menggunakan model yang disebut sebagai Indeks Intensitas Tenaga Kerja (IITK).

IITK

IITK

Di mana :  IITK  = Indeks Intensitas Tenaga Kerja;   W  = Upah Tenaga Kerja; I  = Investasi;  AV  = Nilai Tambah Ekonomi

Hasil penelitian ini dibahas oleh para guru besar anggota Policy Reseach Team Menteri dari Universitas-universitas Negeri Utama di Indonesia, ada yang menyetujui model ini yang menyebutnya sebagai Indeks Buyung yaitu Prof.Dr.Makaliwi dari Universitas Hasananudin, ada juga yang mempertanyakan apa artinya I X AV tidak  ada economic sense yaitu Prof. Endra Asmara dari Universitas Andalas, sedangkan guru-guru besar  lain dari UI, Gajah Mada, Universitas Syiahkuala, Universitas Sam Ratulangi, IPB, dan pakar lembaga-lembaga lain dari  BPS dan Bappenas tidak menolak model ini.

Namun bagaimanapun model  ini telah menemukan bahwa perusahaan Padat Karya ternyata terdiri dari 3 kelompok yang kami (kebetulan penulis sendiri sebagai Pimpro dan penanggung jawab penelitian) kelompokkan dalam Padat Karya Tingkat 1 (IITK = rendah), Tingkat 2 (IITK = menengah),  dan Tingkat 3 (IITK = tinggi).

Sebagian besar perusahaan Padat Karya termasuk dalam kelompok Tingkat 2 dan Tingkat 3 yang  pengeluaran untuk tenaga kerja mencapai 90 persen lebih dari nilai tambah. Ini berarti kalau pengeluaran untuk tenaga kerja ditingkatkan, maka perusahaan padat karya ini akan gulung tikar dan sebagai konsekuensinya akan terjadi pengangguran massal minimal PHK besar-besaran.

Karena penelitian ini merupakan  standing order dari Menteri Tenaga Kerja, maka rekomendasinya adalah tidak semua perusahaan dapat diberlakukan untuk membayar upah minimum menurut UU, tetapi perlu adanya ketentuan upah dengan memperhatikan kemampuan perusahaan untuk membayar. Sebaliknya bagi perusahaan-perusahaan yang IITK 5% – 10% harus diberlakukan upah produktivitas, bukan upah minimum. Upah minimum adalah upah sosial yang merupakan safety net, jaring pengaman agar kehidupan kaum buruh tidak terlalu terpuruk.

Disarankan pada Litbang Depnakertrans menghitung kembali dengan data terakhir untuk mengetahui berapa banyak perusahaan-perusahaan padat karya Tingkat 2 dan Tingkat 3 yang rawan kalau diberlakukan upah minimum.

3.Kesejahteraan Buruh

Kesejahteraan buruh khususnya dan kesejahteraan masyarakat umumnya ditentukan tidak saja oleh besarnya upah nominal atau pendapatan masyarakat tetapi sangat ditentukan oleh kondisi ekonomi suatu bangsa dan kebijakan pemerintah dalam program kesejahteraan.

Kondisi ekonomi yang tidak kondusif untuk adanya investasi riil bukan investasi portofolio, dan untuk ekspansi perusahaan-perusahaan yang sudah ada mengakibatkan tidak saja kesempatan kerja terbatas dan pengangguran tinggi, tetapi pendapatan riil buruh  dan masyarakat menurun. Betapapun besarnya kenaikan upah minimum nominal tidak akan membawa pada kesejahteraan buruh kalau inflasi (IHK) terus meningkat.

Memang kesejahteraan buruh tidak semata-mata tergantung pada upah sebagai komponen kompensasi, tetapi sangat dipengaruhi oleh pengeluaran-pengeluaran buruh untuk :

  • kebutuhan-kebutuhan dasar seperti sembako,
  • transportasi,
  • perumahan,
  • pendidikan,
  • kesehatan,
  • dan lain-lain kebutuhan dasar.

Sistem imbalan mencakup 3 komponen yaitu kompensasi dalam bentuk upah, insentif yang didasarkan pada prestasi kerja buruh baik individual maupun kelompok berdasarkan target dan standar prestasi, dan employee benefits yang tidak bersifat monetary. Di Indonesia komponen-komponen ini tidak ada, hanya kompensasi saja dalam bentuk upah minimum dan upah lembur.

Kesejahteraan buruh tidak hanya tergantung pada perusahaan yang memberikan upah, tetapi sangat tergantung pada peranan negara dalam menjamin  harga-harga kebutuhan dasar yang stabil, wajar, dan terjangkau. Sehingga upah minimum riil atau daya beli buruh meningkat tanpa meningkatkan upah nominal. Program kesejahteraan buruh hendaknya mencakup pendidikan anak-anak kaum buruh gratis termasuk buku-buku pelajaran gratis dan pemeliharaan kesehatan gratis.

Masalah outsourcing bukan untuk buruh, tetapi untuk tenaga-tenaga ahli yang langka bagi perusahaan.  Untuk buruh dinamakan contingent labor yang digunakan apabila tenaga kerja yang ada  kekurangan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan.

4. Reform actie dan Doels Actie

Walaupun kepentingan buruh dan pengusaha berbeda, tetapi mustahil proses produksi terjadi tanpa adanya keberadaan buruh dan pengusaha dalam satu kesatuan. Perjuangan untuk kenaikan upah minimum bermanfaat sebagai suatu reform actie (perubahan kecil-kecilan), tetapi tuntutan kesejahteraan adalah doels actie (kesejahteraan) harus bersama pengusaha berjuang untuk kemajuan ekonomi bangsa ini yang peranan negara menentukan. Jadi perjuangan untuk kenaikan upah minimum harus relevan dengan perjuangan untuk kesejahteraan dalam jangka panjang.

Doels actie kaum buruh dan pengusaha serta rakyat Indonesia seluruhnya sama yaitu memerangi kemiskinan, memperluas kesempatan kerja, menciptakan lapangan kerja baru yang produktif, menjaga kelestarian sumber-sumber daya alam agar tidak punah dalam satu generasi sekarang saja. Akhirnya berjuang untuk ke-mandiri-an ekonomi dalam era globalisasi untuk mencapai kesejahteraan masyarakat luas. Perjuangan ini bukan tugas utama buruh dan pengusaha serta rakyat Indonesia seluruhnya, tetapi merupakan  tugas utama negara dan partai-partai politik yang ada sekarang ini.

Orang-orang  partai-partai politik jangan hanya pandai mengumbar janji sebelum berkuasa, tetapi tunjukkanlah kontribusi  Anda dalam perbaikan kondisi ekonomi sebelum berkuasa. Indonesia memerlukan orang-orang yang mempunyai kemampuan deduktif dan sekaligus induktif, kemampuan menemukan gagasan sekaligus mampu melaksanakan gagasan itu. Jangan hanya pandai berwacana atau berandai-andai saja, tetapi tidak tahu dan tidak mampu bagaimana melaksanakan wacana dan andai-andainya.

Bukan tidak mungkin nantinya akan seperti andai-andai nenek saya : “Kura-kura nyeberang laut”, terus bagaimana nek andai-andainya, nenek jawab nanti dilanjutkan andai-andainya karena kura-kuranya masih nyeberang laut. Nanti kapan nek, ya nanti kalau kura-kuranya sudah sampai di seberang laut, kapan nek ya nenek tidak tahu. 

5 Tanggapan to “UPAH MINIMUM DAN KESEJAHTERAAN BURUH”

  1. Rusmin Syafari said

    Luar biasa pak, ini merupakan solusi yang ideal untuk penyelesaian masalah perburuhan saat ini.
    Sekaligus, hal ini juga merupakan protes yang nyata terhadap kurangnya ketelitian pemerintah dalam menangani masalah SDM.

  2. juni aziwantoro said

    S

  3. Greos Saragih said

    SEBUAH PERENUNGAN UNTUK
    UPAH MINIMUM DAN KESEJAHTERAAN BURUH

    Setiap menjelang akhir tahun, topik pembahasan mengenai upah minimum dan kesejahteraan buruh selalu menghisap energi bangsa ini. Ribuan buruh tiap tahun menggelar demonstrasi turun kejalan menuntut kenaikan upah. Demonstrasi ini telah mengorbankan banyak hal : Waktu, dana, tenaga, produktifitas bahkan kadang mengorbankan nyawa. Setiap tahun pula kita seolah dibawa pada jalur berfikir yang sulit. Sulit sebab kata “minimum” tidak mungkin melahirkan kondisi “sejahtera”. Dua kata itu tidak sepadan. Keduanya adalah kata yang sejatinya bertolak belakang. Akal sehat mengatakan bahwa kesejahteraan buruh tidak mungkin dicapai dengan upah minimum. Lalu sebetulnya adalah juga kesulitan membahas upah minimum dalam hubungannya dengan kesejahteraan buruh. Sebab yang minimal pasti hanya menghasilkan kemiskinan, tidak pernah mampu meningkatkan kesejahteraan buruh, karyawan, pegawai atau apapun sebutannya bagi setiap orang yang menerima upah.
    Tanpa bermaksud mengubah judul pembahasan kita menjadi : Upah Maksimum dan Kesejahteraan Buruh, berikut ini penulis menawarkan gagasan sebagai berikut :
    Dilarang Menjadi Buruh
    Pembahasan Upah Minimum tiap tahun selalu diawali dengan mindset ( cara berfikir ) tidak berkelimpahan dari para pengusaha Indonesia. Mindset ini menganut faham bahwa di dalam alam bawah sadar pengusaha Indonesia telah terlebih dahulu tertanam pemikiran bahwa buruh hanya pantas menerima yang minimum. Sebaliknya hanya pengusaha yang berhak menerima yang maksimum. Dan itu, bagi pengusaha adalah sah dan kodrati. Mashabnya adalah : Jika ingin mendapatkan yang maksimum, dilarang menjadi buruh. Inilah salah satu warisan feodal yang masih berakar di negeri ini sampai sekarang. Maka tidak heran jika budaya perusahaan kita secara umum di Indonesia kebanyakan masih mengedepankan prinsip : Tujuan akhir perusahaan adalah keuntungan, bukan kebaikan bagi manusia itu sendiri.
    Pembahasan kenaikan upah buruh setiap akhir tahun, sesungguhnya bukan sekedar persoalan angka-angka. Inti dari demonstrasi buruh di berbagai daerah di Indonesia setiap tahun menuntut upah yang lebih layak merupakan simbol perlawanan buruh atas fikiran yang feodal itu, yakni : Buruh hanya layak menerima minimal. Pada sisi lain para pengusaha kukuh mempertaruhkan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran bahwa buruh hanya pantas menerima yang minimal. Membahas dua kepentingan ini bagaikan mempertemukan kutub Utara dan kutub Selatan.
    Sedangkan pemerintah kelihatan tidak berdaya ditengah-tengah pusaran dua kutub itu. Berbagai regulasi dan ketentuan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal menentukan menaikkan upah minimum, kehidupan layak dan lain sebagainya yang berkaitan dengan penentuan upah itu sendiri, sesungguhnya bukanlah hal mendasar dan bukan pula instrument yang benar-benar dapat diandalkan sebagai pedoman penentuan kenaikan upah. Akhirnya, kompromilah yang dijadikan dasar penentuan keputusan. Yaitu kompromi dan sedikit lobby yang juga masih berlandaskan paradigma feodal: Buruh hanya layak menerima yang minimum.

    Paradigma Kelimpahan
    Upaya menaikkan upah buruh dari minimum ke level yang juga masih sama yaitu minimum untuk tahun berikutnya, adalah persoalan yang sangat kompleks. Ini persoalanan jiwa dan harus menyentuh inti dari nurani manusia itu sendiri. Sebesar apapun keuntungan yang diperoleh pengusaha, jika ia masih memegang prinsip feodalistik, dorongan dari dasar hati untuk menaikkan upah buruh tidak akan pernah muncul dengan sendirinya. Persoalan menaikkan gaji buruh dari minimal ke maksimal harus terlebih dahulu merubah paradigma yang telah lama berakar dan berurat dalam fikiran sebagian besar pengusaha kita. Kita membutuhkan pengusaha yang memiliki paradigma kelimpahan yang jiwanya terbebas dari belenggu feodal, yang mampu menerima prinsip kesetaraan bahwa siapa saja berhak mendapatkan yang maksimal, baik pengusaha maupun buruh. Kita segenap bangsa ini harus berupaya keras mendorong pengusaha kita merubah mindset dari berfikir minimalis bagi kemanusaiaan ini menjadi pribadi yang berfikir mega dan berkelimpahan. Kita mendorong budaya bangsa yang mampu menginternalisasikan bahwa tujuan akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan keuntungan adalah sarana bagi memperbaiki peradaban. Inilah inti persoalannya. Beberapa Negara maju telah berhasil menerapakan konsep ini, seperti beberapa negara Eropah, Korea Selatan dan Jepang yang puluhan tahun lalu juga masih belum berfikiran berkelimpahan.

    Bertahan Hidup 15 – 20 Hari
    Besaran upah minimum yang diputuskan setiap tahun secara real sesungguhnya tidak benar-benar berada pada garis minimal. Akan tetapi jika benar-benar disurvey tanpa ada intervensi dari pihak manapun, upah minimum itu ditetapkan jauh dari minimum. Artinya bisa saja 50 % atau 70 % dari kebutuhan real buruh/pekerja. Dengan kata lain upah minimum yang ditetapkan selalu tidak mampu memenuhi kebutuhan paling dasar buruh. Sehemat-hematnya buruh menggunakan upahnya, mereka hanya mampu bertahan hidup 15-20 hari setiap bulan dari upah yang mereka terima. Selebihnya berutang.

    Bergantung Pada Kemurahan Hati
    Buruh sesungguhnya tidak suka berdemonstrasi menuntut kenaikan upah setiap tahun. Bahkan buruh sama sekali tidak memiliki daya tekan untuk menuntut. Sebab menuntut itu membutuhkan konsep, perencanaan, perhitungan yang cermat dan analisa yang matang. Buruh tidak memiliki kemampuan itu. Demonstrasi buruh sesungguhnya lebih mengarah kepada spontan, iklas dan berhasil hanya karena adanya kemurahan hati.

    Buktinya karena tuntutan mereka selalu tidak pernah tercapai, buruh memilih mogok, sebuah tindakan tidak berdaya atau malah frustrasi. Yang mereka tuntut adalah kebutuhannya terpenuhi dengan gaji yang mereka terima. Sehingga persoalan mendasar bukan menaikkan upah buruh, tetapi menstabilkan harga kebutuhan pokok buruh. Menstabilkan harga pokok kebutuhan berarti mengontrol harga pasar pada batas kesanggupan/daya beli buruh. Lalu menyediakan kebutuhan seperti sekolah, kesehatan, perumahan, transportasi yang terjangkau.

    Tragisnya bagi buruh, yang selalu terjadi di Negara ini, harga bahan pokok terlebih dahulu naik mendahului kenaikan upah minimum. Sehingga kenaikan upah minimum selalu tidak mampu meningkatkan daya beli buruh, dan berarti pula kesejahteraan mereka tidak pernah membaik. Fenomena ini dapat dilukiskan bahwa buruh menerima kenaikan upah sedikit, tapi segera pengusaha juga menaikkan harga jual, sehingga kenaikan itu toh kembali juga kepada pengusaha. Tidak pernah bertahan di kantong buruh.

    Melompat Ke Gagasan Mega

    Daripada terus-menerus berfokus pada paradigma lama yaitu membahas Upah Minimum dan Kesejahteraan Buruh, lebih baik kita melompat naik kelas ke gagasan mega dan berkelimpahan. Yaitu membahas gagasan Menaikkan Upah Maksimum Demi Kesejahteraan Buruh Indonesia. Perubahan konsep ini membutuhkan perubahan budaya, paradigma pengusaha kita dan dukungan politik yang kuat dari segenap elemen bangsa. Sehingga hati dan fikiran kita menjadi menganut faham bahwa tujuan akhir dari perusahaan adalah kebaikan bagi manusia itu sendiri. Sedangkan keuntungan adalah sebagai pertanda bahwa perusahaan dan apa yang kita kerjakan telah berjalan pada landasan yang benar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang mampu mensejahterakan rakyatnya, tidak perduli sebagai buruh, karyawan, pengawai atau apapun sebutannya. Dan pengusaha berjiwa dan memiliki visi besar adalah pengusaha yang mampu memberikan kehidupan yang baik bagi karyawannya, bukan hanya sekedar memberikan upah minimum untuk kehidupan minimum. Kita tinggalkan pola fikir feodalistik minimalis itu, kita tatap masa depan dan bangkit sebagai bangsa besar dengan para pengusaha besar sebagai lokomotif utamanya.

  4. Muhammad Faried said

    Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini dimana kaum buruh yang tergabung dalam berbagai serikat pekerja melakukan unjuk rasa menuntut kenaikan upah minimum, bahkan ada rencana untuk melakukan pemogokan massal diseluruh Indonesia. Fenomena ini terjadi karena biaya hidup (cost of living) kaum buruh yang terus meningkat yang ditunjukkan oleh peningkatan Indeks Harga Konsumen. Namun dilain pihak pengusaha juga sedang mengalami kesukaran terimbas dalam kondisi ekonomi global yang sedang mengalami penurunan.

    Pembahasan kenaikan upah buruh setiap akhir tahun sesungguhnya bukan sekedar persoalan angka-angka namun berbicara secara keseluruhan dengan mempertimbangkan kesejahteraan buruh itu sendiri dan kemampuan perusahaan untuk membayar upah buruh dan mempertahankan kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
    Upah Minimum adalah suatu standar minimum yang digunakan oleh para pengusaha atau pelaku industri untuk memberikan upah kepada pekerja di dalam lingkungan usaha atau kerjanya. Menurut Permen no.1 Th. 1999 Pasal 1 ayat 1, Upah Minimum adalah upah bulanan terendah yang terdiri dari upah pokok termasuk tunjangan tetap. Upah ini berlaku bagi mereka yang lajang dan memiliki pengalaman kerja 0-1 tahun. ada 3 (tiga) komponen upah yaitu gaji pokok, tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap. Jadi untuk menetapkan upah minimum hanya memakai 2 (dua) komponen saja yaitu Gaji Pokok dan Tunjangan Tetap. Besarnya gaji pokok sekurang-kurangnya harus sebesar 75 % dari jumlah Upah Minimum.
    Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menilai upah buruh di Indonesia merupakan yang terendah se-ASEAN. Upah buruh di Indonesia hanya lebih baik dibanding Kamboja dan Vietnam. Data tersebut merupakan data statistik upah minimum di Asia dan sekitarnya pada 2012. Data ini membandingkan jumlah upah buruh di negara kawasan ASEAN.
    Buruh juga harus mengerti jangan hanya menuntut upah saja tetapi juga meningkatkan produktivitas mereka dan jangan hanya tuntut menuntut saja. Mereka juga harus belajar karena di mana saja, persaingan dinilai dari produktivitas bukan oleh anda bekerja seperti apa. produktivitas buruh Indonesia lebih rendah dibanding negara Asia lain, seperti Cina, Vietnam, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Sangat disayangkan kenaikan upah buruh tidak dibarengi produktivitas yang tinggi, hal ini tentu saja sangat memberatkan para pengusaha dan investor yang menanamkan modalnya di Indonesia.
    Kenapa tidak semua sektor industry yang ada di Indonesia baik yang skala besar maupun kecil menerapkan Upah Minimum Sektoral? Upah minimum sektoral merupakan hasil perundingan dan kesepakatan antara asosiasi perusahaan dan serikat pekerja/serikat buruh. Usulan upah minimum sektoral (hasil kesepakatan) tersebut disampaikan kepada gubernur melalui Kepala Kantor wilayah Kementerian tenaga kerja untuk ditetapkan sebagai upah minimum sektoral propinsi dan atau upah minimum sektoral kabupaten, Sehingga pemberian upah murah dapat dihindari sesuai dengan produktifitas atau kinerja masing-masing buruh.
    Berbagai kajian mendalam tentang pengupahan ini telah dilakukan oleh Universitas-Universitas ternama di Indonesia. Tidak semua perusahaan mempunyai kemampuan sama menerapkan upah minimum yang dituntut oleh para buruh. Jika semua tuntutan dipenuhi kelangsungan perusahaan akan semakin berat dan tidak dapat juga dihindari terjadinya PHK besar-besaran.
    Dalam hal ini Pemerintah hendaknya juga cepat tanggap dengan persoalan yang tiap tahun sepertinya tidak bias dihindari terjadinya demo besar-besaran menuntut upah yang layak. Hendaknya juga pemerintah mampu memberikan berbagai Insentif kepada perusahaan atau industry padat karya sperti keringanan pajak, kemudahan perizinan, penertiban pungutan liar dll. Kemudian pemerintah juga hendaknya mampu menjamin kesejahteraan para buruh dengan memberikan berbagai kemudahan dalam mendapatkan biaya perobatan murah, kepemilikan rumah, jaminan anak sekolah dll.
    Kesejahteraan buruh sesungguhnya dipengaruhi oleh dua komponen, yaitu pendapatan dan pengeluaran. Bagi pemerintah mungkin sulit untuk mengatur pendapatan buruh, tapi mereka bisa melakukan sesuatu untuk menekan pengeluaran buruh. Komponen dasar yang umumnya memakan porsi besar dalam biaya pengeluaran masyarakat adalah tempat tinggal, transportasi, bahan pokok, serta tunjangan kesehatan dan bila ada, pendidikan bagi anak. Seandainya pemerintah mampu mengontrol harga komponen-komponen dasar ini agar tetap terjangkau, maka urusan kesejahteraan buruh seharusnya bisa diatasi.
    Salah satu cara paling mungkin dan efektif yang bisa pemerintah lakukan untuk mewujudkannya adalah dengan memberikan subsidi. Apa yang akan dilakukan oleh pemprov DKI dengan membangun rusun-rusun murah di dekat kawasan industri adalah contoh bagaimana pemerintah bisa menekan pengeluaran tempat tinggal dan transportasi buruh. Dan itu adalah bentuk subsidi. Demikian juga dengan dikeluarkannya kartu Jakarta Sehat dan kartu Jakarta Pintar. Dua hal itu merupakan bentuk subsidi di bidang kesehatan dan pendidikan.
    Lalu subsidi bagaimana yang bisa dilakukan untuk menekan biaya bahan pokok? Dalam benak saya pemerintah mungkin bisa menyediakan satu pasar grosir besar yang dikhususkan bagi buruh. Pasar grosir ini dibangun di kawasan pemukiman buruh dan disana dijual bahan-bahan pokok dengan harga yang sudah disubsidi oleh pemerintah. Karena diperuntukkan untuk buruh, maka pasar grosir ini hanya boleh dikunjungi oleh buruh. Barangkali bisa juga diperuntukkan bagi umum, namun setidaknya hanya buruh yang mendapatkan harga subsidi.
    Buruh yang ingin berbelanja di grosir ini nantinya harus memiliki suatu kartu yang bisa menunjukkan kalau dia benar buruh dan berhak untuk berbelanja di grosir tersebut. Kartu itu juga nantinya berfungsi untuk membatasi jumlah pembelian. Hal ini untuk mencegah buruh untuk membeli barang subsidi dalam jumlah banyak untuk kemudian dijual kembali dengan harga normal.
    Subsidi-subsidi di atas adalah salah satu solusi yang bisa diambil pemerintah untuk mengatasi masalah buruh yang selalu datang tiap tahun. Dengan penyediaan subsidi, maka kesejahteraan buruh akan meningkat meskipun dengan penghasilan yang tetap. Dan inilah tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkannya.

  5. Tina afrian said

    Bolehkah saya bertanya ?
    Bagaimana cara mengatasi terjadinya pemogokan karyawan dan demo karena tuntutan soal kenaikan upah minimum secara internal tanpa campur tangan dari pemerintah ??
    Terima kasih banyak sebelumnya.

Komentar anda

 
Thought's

Things about the big country and nation -- Indonesia.

infokito

jembatan informasi kito

palembang dan jawa

Just another WordPress.com weblog

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.